Minggu, 17 Februari 2019

Terima Kasih Telah Pergi

temanku sedang bersedih.
dia datang kepadaku dengan membawa sejuta kata tentang akhir hubungannya bersamamu.
dia bilang kamu yang lebih dulu membeku,
tak sehangat saat pertama kali dua pasang mata saling bertemu,
dan tak sepanas saat pertama kali menunjukkan rasa cemburu.
katanya semua berakhir begitu saja seperti sebuah kembang api.
meledak-ledak dengan percikan-percikan yang indah, kemudian lenyap ditelan langit malam.
lalu meskipun temanku menceritakan semuanya dengan bibir tersenyum, 
aku yakin semalaman dia merintih kesakitan.
karena matanya agak sembab,  dan beberapa kali padangannya kosong saat menyebut namamu. seakan-akan detik itu ia kembali mengingat yang telah berlalu.
tapi dia benar-benar kuat.  dia tetap berusaha menahan air matanya dihadapanku. dia (mencoba) terlihat baik-baik saja, meski hatinya terbalut pilu.

hebat.
kalau boleh jujur,  sesungguhnya kalian adalah pasangan yang luar biasa hebat.
kamu sangat hebat dalam hal melukai,  dan dia sangat hebat dalam hal menerima luka-luka itu.
kamu berulang-ulang menjatuhkan dia dengan cerita-cerita asumsimu sendiri tanpa menunjukkan kebenarannya. 
dan dia malah membelamu saat aku protes dengan kekejaman-kekejaman mu yang menghantamnya begitu parah.
sangat luar biasa.

aku sampai kehabisan kata melihat dia berusaha tersenyum saat menceritakan bagaimana cara-caramu yang manis dulu untuk membuatnya tertawa.
aku sangat amat yakin kalau aku memeluknya, mengusap punggungnya dan mengatakan "jangan terlalu memaksakan dirimu", tangisnya akan pecah dengan mudah. 
tapi tak kulakukan.
aku tak akan sanggup melihatnya menangis karena bisa saja aku malah kehilangan akal sehat dan pergi mencari dirimu untuk melayangkan satu hantaman keras pada wajah yang kau bangga-banggakan itu.

dan ya, ceritanya cukup sampai disitu.
katanya dia lega telah menceritakannya padaku, dan dia akan berusaha mencoba tak menyebut namamu lagi setelah ini.
lalu akhirnya dia jujur mengatakan padaku bahwa semalaman dia menangis sampai air matanya tak memiliki alasan lagi untuk meluber keluar.
katanya dia sudah menangisi semuanya, 
menangisi caramu menyakitinya, 
menangisi kerinduannya pada dirimu yang dulu,
menangisi kenangannya bersamamu, 
menangisi hal yang belum sempat dilakukan bersama mu, 
menangisi mimpi-mimpinya akan tentang mu yang berakhir hanya menjadi mimpi semata,
dan menangisi akhir dari hubungan kalian yang harus dia terima dengan lapang dada. 
semuanya sudah ia tangisi dan dia bilang itu sudah benar-benar cukup.
dia tidak akan menangis lagi dan mulai menerima kenyataan bahwa kamu tak akan kembali.

lalu aku lagi-lagi terheran karna di akhir kata dia bilang "tapi kalau memang dia kembali saat perasaanku belum benar-benar pergi. 
mungkin sekali lagi aku akan tetap membukakan pintu hati."
dia mengatakannya dengan sedikit nanar,
lalu dia meminta maaf padaku karna datang hanya untuk membuat hatinya sedikit lega setelah menceritakan tentang dirimu.
katanya bagaimapun juga dia tidak bisa membenci dirimu,
sebagian hatinya masih memaklumi mu yang belum beranjak dewasa.
karena ia juga belum dewasa.
dia hanya bilang, kalau perasaannya belum berubah.
hanya saja keadaan yang memaksanya untuk merubah, 
dan ia yakin ia akan baik-baik saja meski butuh proses penyesuaian yang panjang.

untukmu, kuberitau satu hal.
saat perasaanmu bercampur aduk,
saat perasaanmu membuat kepalamu memutar segala kenangan lalu seperti sebuah kaset berdebu,
saat perasaanmu seakan-akan mencekik akal sehatmu,
dan saat perasaanmu berteriak untuk segera mengabaikan  rasa malu,
segeralah bercermin, dan rasakan dalam-dalam perasaan yang dikenal sebagai penyesalan itu.

tapi sekali lagi, se-menyesal apapun kamu saat itu, jangan lakukan apapun untuk mencari tau kabarnya.
atau bahkan mercari kembali perhatiannya.
jangan.
karena kalau kamu melakukan itu, ku pastikan ia sudah akan berada didalam jangkauanku.
terdekap, terjaga, ter-paling bahagia.
karena itu, yang kamu lakukan hanya akan berujung sia-sia.
kemudian aku,  hanya akan menggantikan dia untuk menyampaikan padamu.
selamat menikmati penyesalanmu dalam lubang yang kau gali sendiri, sendirian.

Minggu, 10 Februari 2019

Untuk Semua Yang Tersudahi

sepertinya sudah cukup berkutat dengan penantian.
sepertinya sudah tak ada jalan untuk kembali.
sepertinya ini adalah akhir dari segala yang telah terperjuangkan.
perang telah usai, 
tak ada lagi kata mencintai ataupun dicintai,
tak ada pula alasan untuk membenci
dan tak ada lagi air mata yang harus dijatuhkan.
setelah sekian lama dibiarkan meringis kesakitan, 
ini adalah saat yang paling tepat untuk mengobati segala luka.
taukah kamu telah meleburkan tujuan hidupnya?
hidup seseorang yang terlalu terbiasa dengan konflik.
perang-perang sederhana itu sudah menjadi bagian dari dirinya.
ia terlanjur jatuh cinta pada segala perdebatan yang menghiasi malam-malam penuh rindu itu dan seakan sudah telak menjadi salah satu bagian dari hidupnya,  ia terbiasa.
ia melalui banyak pelajaran didalamnya.
ia percaya,  sebesar apapun badai itu menerpa, 
kamu akan tetap kembali untuk menantangnya.
namun pada kenyataan terpahitnya,  
kini kamu sudah lupa jalan untuk pulang.
kini ia harus berjuang sendirian, 
untuk melawan dirinya sendiri.
ia harus berhenti memikirkan hal yang ia cintai.
ia harus berhenti memikirkan kebahagiaan yg pernah ia alami.
ia harus berhenti menanti karna kamu tidak akan pernah kembali.
ia harus menerima kenyataan bahwa masa itu sudah benar-benar berakhir.
kamu tidak akan pulang,  
dan ia harus merelakan separuh hidupnya yang kini telah hilang.
lalu ia berpesan padaku untuk mengucapkan terimakasih padamu.
terimakasih telah mengajarkan bahwa akan selalu ada patah setelah jatuh, 
meski bahagia juga sempat bercampur aduk didalamnya.

Selasa, 29 Januari 2019

Hujan

Ia membawa mu kedalam pelukanku.
Tak apa, memang terbalut cuaca dingin.
Maka dari itu,  mendekatlah lebih dalam.
Peluk ku luas, sanggup menangkapmu utuh.
Jemari yang bergemetar itu,  biar ku hangatkan dengan sebuah hembusan lembut.
Malam ini saja, berteduhlah pada tubuhku.
Aku tak akan menyentuh mu lebih dari ini,  jadi sisih kan lah segala keresahanmu.
Bibir mu membiru, seakan menyuruhku mendekap mu lebih jauh.
Tapi gerakku membisu, meski dengan jarak senadi ini.
Aku takut kamu membenciku,  jadi kubiarkan kamu yang mencari hangat mu sendiri disini.
Kamu terlihat begitu rapuh, membuatku begitu takut terlalu bertenaga dalam mendekapmu.
Pada akhirnya,  hujan membawa lukamu padaku.
Air mata yang berharga itu, mengalir deras bersama rintik hujan yang menyentuh pipimu.
Kamu meraung-raung kesakitan, akan ketidakadilan dunia terhadapmu.
Tak apa,  menangislah lebih khusyuk.
Aku ada disini,  mendengarkanmu.
Jangan kubur semua emosi yang meluap-luap itu.
Hempaskan. Lepaskan.
Esok kamu akan merasa nyaman, melenyapkan segala yang selama ini mati-matian kamu tahan.
Sekali lagi, Tak apa.
Meski hujan nanti berhenti menjatuhkan diri,
Meski kamu tak membutuhkan aku lagi,
Meski aku akan kamu tinggalkan lagi,
Aku akan tetap ada disini.
Berjaga-jaga sampai hari mengundang hujan untuk jatuh lagi.
Dan kamu,  akan kembali dalam peluk ini.
Sekali lagi.